Natalia dan Setangkai Mawar Biru

Pada tiap-tiap kesempatan yang ada dalam dunia, mampukah setiap manusia mengambil makna yang paling mendalami setiap peristiwa? Dalam tiap pengharapan manusia, mampukah kejadian-kejadian istimewa menyertai tiap langkah dan peluhnya?

Kisah ini menceritakan tentang Natalia, dan juga perjalanan singkat yang membuat ia akhirnya memahami arti dari hidup yang selama ini ia jalani.

Natalia adalah seorang gadis yang hidup di era 20-an, dan besar serta dilahirkan di kota paling romantis di dunia ini, Paris. Tidak mengherankan jika Natalia juga tumbuh menjadi seorang gadis yang gemar meromantisasi setiap hal yang ditemuinya.

Saat ini, Natalia sedang dilanda gundah yang luar biasa. Pasalnya, Natalia belum juga dapat menemukan kira-kira apa yang akan dilakukannya untuk menjalani hidup. Natalia menyukai dunia kesusastraan dan seni. Bagi Natalia, sastra dan seni merupakan alat bantu untuknya tetap bernapas dan menikmati hidup yang terkadang tidak adil.

Sambil memikirkan apa yang akan dilakukannya di dunia penuh keajaiban ini, Natalia pun berjalan-jalan di taman yang tidak jauh dari rumahnya. Taman itu sangat asri, dan tidak ada satu sampah pun yang berserakan di mana-mana. Taman itu bernama Jardin du Luxembourg atau Taman Luxembourg.

Di tengah perjalanan, Natalia menjumpai seorang anak kecil yang sedang duduk di bangku taman sambil menangis. Natalia pun menghampiri anak kecil tersebut dan bertanya,

“Adik, mengapa kamu menangis? Siapa namamu?”

Anak kecil itu pun menoleh dan menjawab pertanyaan Natalia, “Namaku Joel, Kak. Baru saja balonku terbang tertiup angin” sambil terisak-isak.

Natalia memandangnya iba, kemudian tersenyum sambil bertanya kembali,

“Kalau begitu, apa kamu mau kakak belikan? Di ujung jalan sana ada tukang balon”

Joel terkejut dan langsung beranjak dari duduknya, “Tidak apa-apa, Kak. Tidak harus sampai seperti itu. Saya hanya sedih karena balon itu merupakan pemberian dari Ayah saya sebelum beliau berangkat kerja pagi ini” jawab Joel dengan sopan

Natalia tersenyum dan mengusap kepala Joel dengan perlahan, “Baiklah kalau begitu, Kakak tinggal dulu ya. Oh iya, ini Kakak ada permen satu, ini buat kamu” sembari memberikan satu bungkus permen kecil kepada Joel

Benar saja. Seperti anak kecil pada umumnya, mata Joel langsung berbinar-binar ketika menerima permen pemberian Natalia, “Wah, terima kasih banyak, Kak! Saya sangat suka permen ini” dan langsung memakan permen itu dengan perasaan gembira. Seolah-olah sedih yang sedang dirasakannya hilang seketika.

Joel pun langsung pamit dan berlari meninggalkan Natalia dengan riang. Natalia melihatnya dengan perasaan gembira.

Setelah bertemu dengan Joel, Natalia memikirkan satu hal. Bagaimana bisa seorang anak kecil mengalami pergantian emosi yang begitu cepat, dan tanpa memikirkan lebih lanjut mengenai masalah yang sedang mereka alami.

Ketika sedang dibingungkan oleh pikirannya, Natalia kembali bertemu dengan orang lain, kali ini ada dua. Mereka adalah pasangan muda-mudi yang tampaknya baru pertama kali mengunjungi Paris. Terdengar jelas dari aksen mereka yang sama sekali berbeda dari Parisian sesungguhnya.

Natalia tidak menghampiri pasangan muda-mudi tersebut. Melainkan, Natalia memperhatikan dari jauh bagaimana pasangan tersebut saling berkomunikasi satu sama lain.

Melihat dari gaya bicaranya, kemungkinan si pria merupakan keturunan konglomerat yang sama sekali tidak pernah merasakan bagaimana nikmatnya berada di bawah panas matahari. Yang menyebabkannya sangat bertolak belakang dengan pasangan wanitanya.

Wanita itu terlihat berpenampilan sederhana, namun tidak sembrono. Dengan tutur kata lembut dan ceria, wanita itu berhasil meyakinkan pasangannya bahwa ternyata berjalan kaki di taman seindah Luxembourg tidaklah membosankan.

Pasangan muda-mudi itu berhasil membawa ketidakragaman menjadi keselarasan yang diromantisasi. Persis seperti kisah khayalan Natalia mengenai pangeran berkuda putih yang selama ini ia impikan. Namun, ini merupakan versi lebih logis dari khayalannya selama ini.

Kejadian tersebut membuat Natalia berpikir, bahwa mungkin sebenarnya yang harus ia perhatikan adalah bagaimana caranya bertutur, bersikap, dan membawa diri. Sehingga, ia tidak perlu lagi berangan tinggi mengenai pangeran yang ia harapkan.

Karena sesungguhnya, jodoh adalah cerminan diri. Bagaimana cara kamu melihat jodoh kamu adalah bagaimana cara jodoh kamu melihat kamu. Begitulah cara cinta bekerja. Tanpa aba-aba, tanpa embel-embel dan segala pengharapan yang hanya membuat hati kecewa.

Natalia pun mencatat kejadian itu dengan sangat teliti pada hati dan pikirannya. Sehingga pada langkah selanjutnya, ia tidak perlu lagi menaruh harapan terhadap pria manapun yang berusaha mendekatinya. Natalia hanya perlu menunjukkan versi terbaik dari dirinya.

Saat sedang melamunkan tentang pasangan muda-mudi tadi, Natalia dikejutkan oleh pemandangan menakjubkan yang terhampar luas di depannya. Luxembourg memang selalu mengejutkan bagi Natalia.

Contohnya adalah kebun mawar yang melintang luas di hadapannya saat ini. Dengan perasaan riang, Natalia berdansa kecil sambil melantunkan musik klasik kegemarannya, Gymnopedie No.1 karya Erik Satie, salah satu musisi kesukaannya pada era 1880an. 

Saat sedang menari dengan riangnya, Natalia kembali teringat pada masalah yang sedang menghampirinya. Berkaitan dengan jati diri dan apa yang harus ia lakukan untuk menjalani hidupnya. Kemudian, Natalia pun terduduk pada hamparan rumput Taman Luxembourg.

Perasaan gelisah kembali menghampiri Natalia. Mengenai ketakutan akan masa depan yang tidak pernah hadir dalam bayangannya. Pemikiran mengenai hal-hal yang akan dilanturkan orang-orang akan segala hal yang akan ditempuhnya.

Ketika dilanda kekalutan yang luar biasa, Natalia ditegur oleh seorang tukang kebun yang sedang merapihkan daerah sekitar tempat Natalia terduduk. Sambil berkata,

“Wahai gadis cantik, mengapa kamu muram di tengah-tengah keajaiban kota Paris?” dan menyodorkan setangkai bunga mawar berwarna biru

Natalia takjub melihat bunga mawar tersebut. Ia tidak pernah melihat warna yang begitu cerah dan sangat tidak merepresentasikan mawar yang berduri tajam. Dengan jawaban,

“Aku sedang dibingungkan oleh masa depanku. Aku ingin menjadi seorang penulis dan menyukai dunia musik. Apakah mungkin menjadi penulis yang juga seorang musisi? Aku takut akan pandangan orang-orang terhadapku. Bagaimana jika aku menjadi seorang penulis dan musisi yang gagal?” tanpa rem, Natalia menceritakan apa saja gundah yang sedang melanda pikirannya.

Tukang kebun itu pun tersenyum, menunjuk mawar yang diberikan kepada Natalia dan berkata,

“Hydrangea Blue, mawar biru. Jadilah seperti mawar ini. Ia telah berhasil menghalau segala ketidakmungkinan yang ada pada dunia. Dengan mengalahkan persepsi orang-orang terhadap bunga mawar sebagai bunga berduri, yang seringkali menyimbolkan kegelapan,”

Sambil mengambil beberapa tangkai bunga lainnya, aster, tulip, dan matahari

“Lihat. Jika disandingkan dengan bunga-bunga lainnya, ia tidak kalah cerah, bukan?”

Natalia pun tersenyum dan mengangguk mendengarkan perkataan tukang kebun tersebut

“Sama seperti dirimu, gadis cantik. Jika kamu berusaha mengejar mimpimu dengan perasaan gembira dan penuh rasa syukur, maka yang akan terlihat di mata orang-orang hanyalah dirimu yang menonjol dari yang lainnya”

Natalia tetap terdiam dan tidak bisa berkata-kata. Melihat Natalia yang hanya terdiam, tukang kebun itu pun menyusun bunga-bunga tersebut di atas rumput, kemudian beranjak pergi meninggalkan Natalia.

Sejak saat itu, Natalia tidak lagi ragu untuk mengejar mimpinya dan telah dinobatkan menjadi seorang penyair sekaligus musisi terbaik pada abad itu.

Salah satu puisi Natalia yang sangat digemari pada saat itu berbunyi,

Setangkai Mawar Biru

Pada simpang jalan itu, kawan

Telah kutemui arti kehidupan

Samar-samar dipandang

Namun sejuk menyerang

 

Tentang sebuah harapan

Yang tidak berdasar kenyataan

Juga mimpi-mimpi tak terbatas

Menyertai tiap pemalas

 

Kujumpai suatu indah

Dengan warna yang cerah

Ia, setangkai mawar biru

Bahagia bukan sekadar kelabu

20 Mei 2018

Hari ini, aku menghabiskan malamku dengan tidak tidur, agar bisa terbangun saat sahur nanti. Mengisi waktu luangku, aku menonton Dilan 1990. Sebuah film Indonesia yang sedang marak diperbincangkan oleh kalangan remaja seusiaku.

Bagi mereka, Dilan adalah salah satu kisah cinta paling romantis yang pernah mereka baca, serta mereka tonton. Namun bagiku, tidak pernah ada kisah cinta yang paling romantis selain cinta Allah kepada ummat-Nya.

Aku tidak sedang membicarakan SARA, atau juga Dilan. Aku ingin menceritakan sebuah kisah tentang diriku dengan seseorang. Seseorang yang melengkapi masa putih abuku sehingga menjadi lebih menyenangkan.

Dia tidak seperti Dilan. Pun aku yang tak akan pernah bisa menjadi Milea. Dia unik, karena dirinya sendiri. Dan aku, sangat bahagia karena telah mengenalnya. Dan satu hal lagi, dia tidak pernah tahu bahwasanya aku memendam perasaan kepadanya seperti Dilan yang mencintai Milea. 

Bedanya, aku hanya meluapkan seluruh perasaanku ke dalam rangkaian kata yang selalu ku buat tentang dirinya. Dan mungkin juga, dia tidak pernah tahu kalau semua tulisanku rata-rata bercerita tentang dia.

Tak perlu ku jelaskan seperti apa rupanya, tak penting juga. Sampai sekarang pun aku masih heran, mengapa aku bisa memendam perasaan kepadanya sedemikian rupa. Ingin melupakannya, tetap saja tidak bisa. 

Ingin mengingatnya pun, rasanya tidak bisa. Mengapa? Mungkin karena isi kepalaku sudah penuh tentang dirinya. Sehingga untuk mengingatnya lagi, hanya akan membuat sakit kepala.

Dia itu sibuk. Oh, atau tepatnya, dia itu sok sibuk. Tidak pernah sekalipun menjadikan aku sebagai prioritas. Justru, aku senang. Mengapa? Karena ternyata, dia bertekad untuk memiliki masa depan yang cerah. Sangat jarang, sifat itu dimiliki oleh remaja seusiaku, laki-laki tepatnya.

Zaman sekarang, teknologi sudah semakin canggih. Dan semakin memudahkan aku untuk berkomunikasi dengannya. Walaupun tidak sesering saat berbicara langsung dengannya. Kan sudah ku bilang tadi, dia itu sibuk.

Tetapi saat bertemu pun, bukan berarti kami menjadi canggung. Tidak sama sekali. Selama perjalanan dari Sekolah hingga rumahku, dia selalu saja bisa menemukan topik pembicaraan yang cocok. Dan aku, hanya bisa geleng kepala dengan kelakuannya yang sulit untuk ditebak.

Mungkin memang aku yang norak, karena selalu saja menghubungkan kejadian yang terjadi kepadaku, dengan apa yang pernah dibicarakannya kepadaku. Maklum saja, aku tidak pernah mengenal laki-laki seperti dia. Dan juga, aku tidak pernah merasakan yang namanya diistimewakan oleh seseorang. Selain keluarga, tentunya.

Overcoming Writer Block's Situation

 Hi all! 

For those of you who don't know who I am, let me introduce myself, I am Ken Utari, a poet, a fiction writer (hopefully I can write a full novel), a non-fiction writer, someone who is struggling to learn the world of film scripts, and don't forget a student majoring in English literature. 

Please forgive the messy bilingual use on this blog. I've separated the Indonesian and English sections, along with the categories for each post so you don't get confused.

It's been a long time since I last wrote something in this blog. I come back with an announcement!

I'm missing something that I've been holding on to for a long time, which is my writing skills. Therefore, I want to use my existing blog to write as much as possible and in the future, potentially generate something from my writings as well.

I want to tell you a little about my experience so far. I've liked the world of writing since childhood, but I always hesitate and feel insecure to publish my works or writings just because I'm still not convinced that my writing is worth reading. Until finally, from 2018 to 2021, I ventured to join various writing communities, take part in writing competitions, and contribute to various fiction anthologies.

My love for the world of writing (especially fiction) cannot be said to be a joke. However, over the course of a year or so, perhaps two, I began to dive into the world of non-fiction, and I got results that were somewhat less than worth it. Because in the end, I became a ghostwriter.

It was a very disappointing thing, because all this time I've been trying to write to be known by many people, which hopefully people can be inspired by my writing, but instead I got stuck in the ghostwriter circle just because I've known that the environment is an environment that produces money.

I admit that the payments I got were not bad, but not very good for my initial desire to become a role model writer and be liked by many people. If I became a ghostwriter, I would not be known and forever I will not have a portfolio containing my own writings because my work is licensed under someone else's name. It's really sad, isn't it? Therefore, I decided to restart my existing blog and try to develop it as I write and continue to improve my writing.

I take this as an opportunity so that I can be active in writing again and also re-honing my writing skills. Because, I'm not a writer if I don't write, am I right? Therefore, I will try to write every day and also post every day. Whether it's fiction, non-fiction, whether it's a short story or poetry.

So, don't forget to look forward to my writings on this blog, OK! See you again in my next post.

Manusia

Semalam, aku terlibat dalam satu percakapan yang kembali menyadarkanku pada pengingat yang belum sempat kutuangkan ke dalam tulisan. Yang kemudian bisa mengantarkanku kepada,

People are uniquely broken

Dan itu adalah sebuah kalimat yang menamparku dengan sangat keras.
Semua kecemasan dan rasa tidak percaya diri yang menyelimuti, semua itu didasari oleh kalimat ini.
TETAPI, tidak semua orang memahaminya.

Pernahkah kalian berpikir, apa sih masalah yang dihadapi oleh orang-orang yang "kelihatannya" tidak mempunyai masalah?

Ada seorang laki-laki yang menjadi dokter karena salah satu orang terkasihnya sudah mendahuluinya.

Ada seorang perempuan yang menjadi aktivis karena pernah ada kegelapan masa lalu yang menghantuinya.

We're all broken because humans are imperfect

Berhenti menyanjung stigma bahwa orang yang tersenyum bukan berarti ia tidak memiliki masalah sama sekali

Karena senyum itu penguat :)

Jangan beranggapan bahwa apapun yang berhubungan dengan kesehatan mental itu bisa disebut kurang akal, tidak waras, atau bahkan "gila"

Satu lagi, berhenti menghakimi orang lain dengan kata-kata yang bahkan dirimu sendiri TIDAK MAU DENGAR

Aku sedang berusaha, semoga kalian juga.
Aku sering melakukan kesalahan, itu pun boleh dimaklumi.
Karena aku, kamu, dan kita semua, adalah

MANUSIA

Ditulis pada pukul 12 dini hari, di bawah selimut.

Bojonggede, 14 Desember 2020
Ken Utari

Cara Memikat Recruiter di LinkedIn

Halooo, di masa pandemi gini pasti banyak banget kan yang nhyari gimana sih caranya agar tetap berpenghasilan walaupun di rumah aja? Nah, beberapa kalian pasti ada yang nyari lowongan kerja freelance atau remote, iya kaaan?

Salah satu platform yang kalian gunakan LinkedIn, tapi kok, kayaknya susah banget yaa buat apply kerja di satu tempat?

Akuuu emang belum pernah sih apply tapi keterima, tapi mungkin kamu bisa coba tips dari aku ini :

1. Buat profil semenarik mungkin!  

Banyak yang bilang, kalau foto profesional itu bisa bikin kita cepet dapet banyak kerjaan. Eits, nggak juga lhooo. Terkadang, foto semi-profesional (yang penting sopan) juga bisa jadi daya tarik tersendiri kalau angle-nya pas 😉

Terus juga, usahain jujur sejujur-jujurnya dalam penulisan tentang diri kita! Percaya deh, kata-kata "pekerja keras", "disiplin", dan lainnya, kalau nggak dirangkai yang bagus yaa nggak bakalan bisa mencerminkan diri kita

Terus juga, usahain semua diisi dalam bahasa Inggris. Karena LinkedIn itu skala internasional, jadi yaa setidaknya kita harus belajar sedikit mengenai bahasa internasionalnya juga. Minimal, kalau diajak chat nyambung dan nggak harus bolak balik Google Translate 😁

2. Kirim koneksi ke orang-orang di seputar bidang/passion yang kamu tekuni!

Nah, ini nggak berarti kita harus monoton dalam mengirim koneksi, yaa. Misalkan, passion kamu itu di bidang kepenulisan, nah kamu bisa kirim koneksi ke penulis naskah, penulis lepas, penulis konten, blogger, editor, yaa pokoknya yang ada korelasinya deh!

Percaya deh, itu bakalan ngebantu kamu buat buka peluang di bidang yang kamu tekuni atau bahkan di luar bidang itu!

3. Sering-sering berinteraksi dengan post koneksi kita maupun temennya koneksi kita

Memberi reaction dan komen itu nggak ada ruginya, kok. Bahkan, itu bisa jadi salah satu cara kita "menjual diri" di LinkedIn ini. Karena peluang komen kita dibaca banyak orang itu yaaa 95% apalagiii kalau kamu komen di post salah satu orang yang "terkenal" di LinkedIn!

4. Satu lagi, perkarya dirimu di platform lain!

Kamu suka nulis? Punya blog? Cantumkan blog kamu! Sekalipun tulisan terakhir kamu itu 3 tahun yang lalu, peluang dibacanya itu banyaaaaak banget! Apalagi kalau ada recruiter yang lagi hunting dan kebetulan jatuh cinta sama tulisan kamu, beuh! Trust me, you'll get dat chanceeee~ 

Intinya, jangan malu untuk menampilkan apapun karya dan prestasimu di LinkedIn. Orang-orang mungkin nggak akan mengapresiasi secara langsung. Tetapi, itu bisa membantu kamu secara tidak langsung membangun portofolio yang akan diliat banyak orang!

Naaah, segitu aja tips dari aku buat kamu yang mau membangun koneksi atau bahkan mencari peluang karir di LinkedIn. Semoga bermanfaat, ya!

- Ken Utari

Bojonggede, 26 November 2020

Aku capek, jadi Perempuan

AKU CAPEK, JADI PEREMPUAN

Karya : Ken Utari

Aku capek, jadi perempuan

Ini itu dikaitkan dengan masa depan

Tak bersih menyapu, nanti suami berjanggut katanya

Tak pandai masak, nanti suami tak betah katanya

Aku capek, jadi perempuan

Ini itu dilarang

Main bola, seperti lelaki katanya

Pakai celana, tak mencerminkan diri katanya

Aku capek, jadi perempuan

Dituntut harus pandai seisi rumah

Mengenai kebersihan, harus bisa segalanya

Mengenai ketaatan, harus patuh semuanya

Aku capek, jadi perempuan

Dinilai remeh dan sebelah mata

Dianggap lemah, hanya karena ukuran tubuh tak seperti rata-rata

Dianggap ramah, hanya karena selalu menebar senyum kemana-mana

Aku capek, jadi perempuan 

Pandai sedikit, takut tersaingi

Cantik sedikit, dipuja sampai mati

Padahal fisik, bisa seenaknya saja diubah nanti

Aku capek, jadi perempuan

Aku ingin jadi diriku sendiri

Tidak terkait emansipasi

Ataupun tuntutan hakiki

Aku capek, jadi perempuan

Tolonglah sebentar saja berempati

Bahwa kami, selalu pakai hati nurani

Bukan berarti mudah untuk dibodohi

Bojonggede, 18 November 2020

Metode Ikigai

Terkadang kita terjebak dalam kehidupan sehari-hari. Bangun, dan mempersiapkan diri untuk memulai pekerjaan 9-5 kita. Kalau sudah waktunya pulang, biasanya mampir untuk beli kopi dan belanjaan  jadi tidak perlu keluar lagi di akhir pekan.

Apakah kamu tidak menyadari apa artinya itu? Kita tidak bisa mengerti apa tujuan dari rutinitas kita sehari-hari. Kecuali, jika kamu menikmatinya tanpa keraguan.

Kamu tidak bisa mengejar karir impianmu, atau bahkan rumah impianmu. Kamu hanya berjalan di tempat yang sama setiap hari.

Itu sebabnya, kita perlu mendefinisikan ikigai kita, atau tujuan hidup kita.

"Ikigai dapat didefinisikan sebagai 'perasaan hidup sekarang, kesadaran individu sebagai motif untuk hidup.'"

- Aikihiro Hasegawa, Associate Professor / Universitas Toyo Eiwa

Mari setuju untuk tidak setuju. Kebosanan terkadang membunuh kita setiap akhir pekan. Tidak ada uang, tidak ada rencana. Hanya terjebak di rumah.

Karena itu lah kamu memerlukan metode ikigai dalam keseharianmu.

Izinkan saya menyederhanakannya menjadi empat bagian

1. Ikigai sebagai minatmu

Bagaimana kamu bisa mendefinisikan minatmu?

Persis. Ikigai sebagai arti gairahmu,
Apa yang Anda sukai + apa yang Anda kuasai
= MINAT/PASSION

Itulah metode nomor satu.
Kamu dapat menyederhanakan hidupmu hanya dengan menggunakan metode ini. Jika kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, dan kamu kuasai, kamu mengejar minatmu, meningkatkannya menjadi lebih baik dan lebih baik, sampai kamu mencapai yang terbaik.

2. Ikigai sebagai Misimu

Apa itu? Kamu tidak mendaftar untuk audisi hari ini. Tidak, belum.

Ini adalah misi murni, yang kamu lakukan tanpa mengharapkan imbalan apa pun

Kamu hanyalah manusia biasa yang bersedia membantu orang lain dengan:

Apa yang kamu sukai + apa yang dibutuhkan dunia

= MISI

Misalnya, kamu suka mendaki gunung tetapi juga mendukung go green. Kamu dapat membersihkan sampah di area perkemahan dan melakukan "kerja bakti" dalam satu hari. Itu misi. Tanpa mengharapkan imbalan apapun.

3. Ikigai sebagai Vokasi

Ini bukan proyek sekolah. Atau sekolah kejuruan.

Inilah yang kamu lakukan untuk mencari nafkah. Yang artinya seperti dibawah uni

Apa yang dibutuhkan dunia + untuk apa Anda dibayar

= VOKASI

Ini adalah impian setiap orang tua untuk anak-anaknya. Pengacara, dokter, pemadam kebakaran, polisi.

Kamu tidak selalu harus melakukan metode ini jika kamu tidak mau. Setiap orang dapat memutuskan apa yang mereka inginkan di masa depan. Kamu adalah kendali nomor satu dari dirimu sendiri.

Terakhir tapi bukan yang akhir.

4. Ikigai sebagai Profesi

Saya yakin kamu sudah tahu apa artinya ini. Tapi izinkan saya menjelaskannya 

kepadamu.

Untuk apa kamu dapat dibayar + keahlianmu

= PROFESI

Kamu bisa mengharapkan upah maksimum jika kamu berpengalaman di satu bidang tertentu. Misal kamu berbakat di bidang desain grafis, maka kamu harus membaginya menjadi beberapa bagian, jenis desain apa yang kamu kuasai? Jika kamu ingin menjadi bos bagi dirimu sendiri, ada banyak orang di luar sana yang telah mencoba menjadi pekerja lepas.

Kamu bisa membuat kesepakatan bagus jika kamu ahlinya.

Itulah empat metode Ikigai untuk kehidupanmu yang lebih baik.
Semoga berhasil dalam menemukan tujuan hidupmu!

Bojonggede, 16 September 2020

Ken Utari

Decision

Thou heart has been figured out

Yet embrace and loved

To someone who had

Breathed with bond

Thoughtful and remarkable

Fearful yet miserable

Nonetheless survival of the broken age

Flying through the sky, 

Buried and wake again

Write some words in the note

Careful and shivers

You are not the choice of life

Bojonggede, September 14th, 2020

Ken Utari

Aku dan Renungan

Aku dan Renungan

Terbangun aku pada pukul 4 pagi kurang beberapa menit. Setelah mendengar adikku yang ditegur ketus oleh Abi. Karena ia susah sekali dibangunkan untuk menyantap sahur.

Aku jengah melihat dirinya bermalas-malasan. Aku bangkit dari rebahku, dan mulai mencaci ia hingga ia pun bangkit dari kemalasannya. 

Aku menceramahinya habis-habisan ketika ia sedang makan. Tak peduli bahwa satu, dua titik air mulai menetes di kedua pipinya. Aku menegurnya karena ia tak mampu berprinsip.

Setelah itu, aku kembali menuju kasur. Mengetik tulisan ini sembari berpikir, apa bedanya ia denganku? Aku kakaknya, namun tidak bisa memberikan contoh yang baik.

"Kalau kamu memang tidak mau, bilang tidak mau. Jangan bilang mau tetapi bermalas-malasan dan menyusahkan orang lain", kataku beberapa menit lalu.

Betapa manusia mengindahkan, saat bisa menceramahi seseorang dan berpijak di atas kesalahan kita sendiri.

Sementara, yang diceramahi semakin memupuk diri untuk menjadi lebih baik. Sedangkan aku, tetap pada pendirian yang tak pantas disebut pendirian.

Berapa banyak, yang bahkan menatap indahnya langit pun tak bisa. Karena dihiasi oleh kepul asap yang menghitam. 

Tak jarang pula, mereka yang begitu bahagia karena mendapatkan tiga suap nasi, di tengah-tengah kericuhan.

Apa kabar aku? Yang saat ini sedang terbaring nyaman berselimutkan kain tebal dan asyik berkelana dengan gawai.

Setiap hari disuguhi makanan pokok beserta sampingan yang tak diragukan lagi jaminan kesehatannya.

Membasuh dan membersihkan diri dengan air bersih, yang jelas-jelas terhindar dari kuman. Bening pula warnanya.

Pernahkah saat disajikan makanan, aku berkata "Terima kasih, Sang Pencipta. Untuk makanan hari ini" dalam bahasa dan keyakinan masing-masing?

Tentu saat diiringi rasa lapar yang kalap, kadangkala manusia lupa untuk mengucapkan beberapa kata syukur.

Lebih sederhana lagi, pernahkah aku mengucap "Terima kasih, Ibu. Untuk setiap masakan yang ibu masak dengan penuh cinta untukku dan adik-adikku. Aku sangat menikmatinya".

Bahkan, seringkali aku membentak beliau dengan kasar karena masakannya tidak sesuai dengan apa yang aku mau.

Berapa lama waktu yang aku perlukan untuk mengucapkan beberapa kalimat itu? Aku tahu itu, tidak banyak.

Bagaimana halnya saudara-saudaraku di luar sana, yang bahkan tempat untuk bernaung dari hujan pun tak ada. Makanan yang ada harus ia bagi dengan sukarela kepada adik-adiknya.

Pun jaket yang ia pakai untuk melindungi tubuhnya, harus ia pakaikan kepada adik-adiknya yang lebih membutuhkan. Biarlah ia yang memakai sehelai kaos tipis. Asalkan adiknya tidak kedinginan.

Sempat hati tergerak, berniat menyucikan diri dari segala perbuatan yang tak seharusnya dilakukan. Kesalahan-kesalahan yang seharusnya masih bisa diperbaiki.

Namun, kembali lagi kepada titik. Terlalu nyaman dengan keadaan saat ini. Tidak ingin keluar zona barang sesenti.

Ketika orang lain berpeluh keringat untuk mendapat sesuap nasi, aku mengeluh hanya karena beberapa peluh keringat menyapu halaman.

Ketika orang lain berbinar matanya saat bisa bersantap normal, aku berbinar ketika dibelikan gawai baru.

Seketika, aku tersadar. Pun mengetik tulisan ini yang entah apakah ada yang ingin membacanya atau tidak. 

Memang, acap kali manusia tidak bisa benar-benar berusaha untuk berperilaku sesempurna mungkin. Namun, sudahkah dan sudikah engkau mencoba?

Bojonggede, 10 Mei 2019

Ken Utari

Masa-masa Kritis

Hal yang ingin aku lakukan hari ini adalah menumpahkan segala yang ada di benakku ke dalam tulisan. 

Entahlah. 

Semuanya kacau. 

Aku hanya ingin, ingin sekali, kembali pada masa dimana beban pikiranku tidak seberat ini. 

Tidak sanggup aku menahan ini semua sendiri.. 

Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku bingung, sungguh! Tampaknya tidak ada yang bisa mengerti apa yang aku rasakan saat ini. 

Ingin sekali aku berjalan menyusuri hutan hingga sampai ke tepi jurang. Aku akan berteriak sekencang-kencangnya disana. Ingin menumpah ruahkan segala kebingungan dan kecemasan yang menghantui pikiranku beberapa bulan belakangan ini. Aku harap setelah itu aku bisa kembali menemukan diriku yang sebenarnya. Karena pada saat ini, aku merasa aku bukanlah aku. 

Aku bukanlah seorang Ken Utari yang pernah aku kenal sebelumnya. Memang, setiap orang berubah menjadi seseorang yang baru setiap harinya. 

Tetapi kali ini berbeda. Aku seperti bukan aku yang baru. Aku hanya terjebak disini. Aku tidak bisa melakukan apapun yang bisa membahagiakan diriku. Aku tidak bisa apa-apa.

 Ingin rasanya kembali menjadi seorang anak kecil yang belum sepatutnya membebani pikiran dengan kecemasan akan masa depan. Ingin menjadi seorang anak kecil yang tidak perduli apa kata orang lain. Selama itu menyenangkan, ia akan terus melakukannya. Ingin menjadi anak kecil yang tidak harus memikirkan apapun. 

Menangis ketika sedih, dan tertawa ketika bahagia. Itu saja. Hanya ingin itu. 

Tetapi sedetik kemudian pun aku tersadar, setiap orang pasti pernah melewati masa-masa kritis ini. Dan tentunya, mereka hadir dari berbagai kalangan.

 Baik remaja, paruh baya, lanjut usia, bahkan kanak-kanak. Mereka hadir dengan berbagai macam keluh kesah dan masalah yang tentu jauh lebih berat dibandingkan dengan apa yang aku alami saat ini. Mungkin, setiap orang yang sedang mencari jati dirinya akan terperangkap dalam fase seperti ini. 

Masa-masa kritis seperti inilah yang akan menentukan apakah seseorang itu kuat atau lemah. Aku pun tidak bisa menyimpulkan seperti apa orang-orang yang telah berhasil melewati masa kritis ini. Mereka tentu bisa memaparkan apa saja yang telah membawa mereka sampai sejauh ini. 

Tekad yang kuat. 

Tekad yang kuat lah yang membawa mereka sampai sekarang ini. Setiap orang diciptakan dengan keunikan dan ciri khas mereka masing-masing.

Lalu, untuk apa lagi berkeluh kesah dan bersedu sedan hanya karena masalah yang tiada habisnya? Sampai kapanpun juga, masalah tidak akan pernah ada habisnya.

Apa maumu? Mengakhirinya dengan bersembunyi, melarikan diri, atau pun bunuh diri? Tidak bisa seperti itu. Karena masa-masa kritis ini termasuk dalam proses tumbuhnya seseorang. Menjadi apakah ia setelah melewati masa-masa kritis ini? 

Apakah ia percaya akan faktanya bahwa kehidupan adalah roda yang berputar? Dan saat roda itu berhenti, saat itulah pertanyaan ini harus muncul. 

Apa yang telah kita perbuat selama roda itu berputar? 

Apakah bermanfaat bagi kita dan orang lain? Atau justru menyulitkan baik diri sendiri maupun orang lain?

Ah, maaf. Kecemasan yang berlebihan telah memaksa aku untuk berpikir kritis. Nampaknya aku harus benar-benar mengistirahatkan pikiran dan hatiku dari berbagai macam opini dan kecemasan yang timbul. 

Adakah seseorang yang ingin membantuku?

Ken Utari

Bojonggede, 11 Desember 2018

13:49

Mau atau Tidak

Selamat Siang untuk wilayah Bogor dan sekitarnya!

Pada siang hari ini, saya hanya ingin menuliskan sebenar-benarnya pemikiran yang sudah lama bersembunyi di dalam benak saya (dan menurut saya, itu sangat mengganggu). 

Oleh karena itu, mari baca dan simak baik-baik...

Apa yang sudah saya lakukan selama tujuh bulan belakangan ini, tepatnya setelah saya lulus sekolah? Jawabannya, tidak ada. 

Betul, tidak ada sama sekali. Bukan menurut saya saja, menurut orang-orang terdekat saya pun begitu. Tidak ada hal penting yang sudah saya kerjakan selama masa-masa menganggur saya. Lalu, saya harus apa?

Saya mempunyai cita-cita. Setiap orang pun mempunyai cita-cita. Dan seiring berjalannya waktu, semua itu berubah tergantung dengan keinginan dan tekad yang kuat dalam diri setiap individu.

Sesuai dengan judul tulisan saya kali ini, "Mau atau Tidak". Saya akan membuat sebuah kesimpulan berdasarkan pengalaman yang saya alami sendiri dan juga kisah-kisah yang pernah saya dengar.

Sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saya mempunyai cita-cita menjadi seorang Dokter. Berlanjut lagi saat saya duduk di bangku SMP, saya mempunyai cita-cita menjadi seorang Programmer (yang membawa saya masuk jurusan Multimedia di SMK). Lalu pada saat pertengahan masa SMK, saya ingin menjadi seorang Sutradara. Terus seperti itu sampai beberapa bulan menjelang UNBK 2018, saya berkeinginan menjadi seorang Penulis Naskah.

Mungkin bagi sebagian orang, cita-cita hanyalah sekedar "angan" yang hanya bisa diwujudkan karena adanya keajaiban. Mengutip kalimat dari seorang filsuf Aristoteles, 

"Di dalam segala hal yang ada di alam semesta ini, sesungguhnya kita bisa melihat banyak keajaiban"

Ada banyak, banyak sekali keajaiban yang terdapat dalam alam semesta ini. Tetapi, manusia dibedakan menjadi dua berdasarkan keajaiban tersebut. Yaitu, manusia yang percaya akan adanya keajaiban, dan juga manusia yang pasrah menerima takdir Tuhan.

Bukan mengarah pada sarkasme, tetapi jika dikaitkan dengan logika, memang benar adanya. Keajaiban seperti dalam cerita-cerita dongeng itu hanyalah khayalan yang bersifat fiktif ; tidak nyata. Orang bisa memimpikannya, tetapi tidak bisa mewujudkannya. 

Dunia ini kejam. Kita dipaksa untuk menjadi seseorang atau sesuatu yang tidak pernah kita inginkan. Menyangkut pada kepentingan ekonomi, sosial, dan kesejahteraan. Sesungguhnya, tidak ada manusia yang pernah benar-benar menjadi dirinya sendiri dalam dunia yang fana ini.

Ditambah lagi, dengan berkembangnya Teknologi membuat manusia kembali menjadi bayi. Makan pun harus disuapi, tidur harus ditemani. Manusia saat ini sangat tidak bisa terlepas dari kecanggihan teknologi. Benar begitu?

Lantas, mengapa tidak dimanfaatkan saja kecanggihan yang "hampir" melebihi kepandaian otak manusia itu? Mengapa semakin kesini, yang ada malah manusia yang terjerat oleh arus perkembangan zaman?

Ah, dari cita-cita berujung ke teknologi. Sebenarnya tidak ada salahnya. Saya menulis ini pun bukan untuk menyindir ataupun "nyinyir" terhadap orang-orang yang menyalahgunakan kecanggihan Teknologi. Sebab, saya pun termasuk orang-orang itu.

Yang ingin saya tekankan disini adalah, manusia bisa menjadi apa saja tergantung pada seberapa besar keinginannya untuk menjadi seseorang yang ia impikan. Kembali lagi ke "Mau atau Tidak". Ada seseorang, bahkan lebih dari satu. Yang lelah karena bekerja dari pagi hingga pagi lagi, tetapi tidak menemukan arti dari kesehariannya itu. Ada juga (tidak banyak), orang yang mengerjakan sesuatu sesuai apa yang dia inginkan, namun tidak sedikit yang mengecamnya dan mengatakan hal-hal yang dapat mematahkan semangatnya.

Halo? 

Semua tergantung pada diri kita sendiri.

Kita yang menciptakan kebahagiaan kita sendiri.

Lalu, untuk apa kalian masih saja memikirkan pendapat orang lain?

Untuk apa kalian masih menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa apa-apa? (Pada kenyataannya, manusia diciptakan dengan keunikan masing-masing)

"Apapun yang kita ingin orang lain perbuat bagi kita, perbuatlah itu pada orang lain"

-Aristoteles

Memang baik menjadi orang yang bermanfaat. Tetapi, lebih bermanfaat jika kita menjadi orang baik.

Kebahagiaan itu selalu merupakan sebuah pilihan. 

Salam,

Ken Utari.

Bojonggede, 11 Desember 2018

12:59