20 Mei 2018

Hari ini, aku menghabiskan malamku dengan tidak tidur, agar bisa terbangun saat sahur nanti. Mengisi waktu luangku, aku menonton Dilan 1990. Sebuah film Indonesia yang sedang marak diperbincangkan oleh kalangan remaja seusiaku.

Bagi mereka, Dilan adalah salah satu kisah cinta paling romantis yang pernah mereka baca, serta mereka tonton. Namun bagiku, tidak pernah ada kisah cinta yang paling romantis selain cinta Allah kepada ummat-Nya.

Aku tidak sedang membicarakan SARA, atau juga Dilan. Aku ingin menceritakan sebuah kisah tentang diriku dengan seseorang. Seseorang yang melengkapi masa putih abuku sehingga menjadi lebih menyenangkan.

Dia tidak seperti Dilan. Pun aku yang tak akan pernah bisa menjadi Milea. Dia unik, karena dirinya sendiri. Dan aku, sangat bahagia karena telah mengenalnya. Dan satu hal lagi, dia tidak pernah tahu bahwasanya aku memendam perasaan kepadanya seperti Dilan yang mencintai Milea. 

Bedanya, aku hanya meluapkan seluruh perasaanku ke dalam rangkaian kata yang selalu ku buat tentang dirinya. Dan mungkin juga, dia tidak pernah tahu kalau semua tulisanku rata-rata bercerita tentang dia.

Tak perlu ku jelaskan seperti apa rupanya, tak penting juga. Sampai sekarang pun aku masih heran, mengapa aku bisa memendam perasaan kepadanya sedemikian rupa. Ingin melupakannya, tetap saja tidak bisa. 

Ingin mengingatnya pun, rasanya tidak bisa. Mengapa? Mungkin karena isi kepalaku sudah penuh tentang dirinya. Sehingga untuk mengingatnya lagi, hanya akan membuat sakit kepala.

Dia itu sibuk. Oh, atau tepatnya, dia itu sok sibuk. Tidak pernah sekalipun menjadikan aku sebagai prioritas. Justru, aku senang. Mengapa? Karena ternyata, dia bertekad untuk memiliki masa depan yang cerah. Sangat jarang, sifat itu dimiliki oleh remaja seusiaku, laki-laki tepatnya.

Zaman sekarang, teknologi sudah semakin canggih. Dan semakin memudahkan aku untuk berkomunikasi dengannya. Walaupun tidak sesering saat berbicara langsung dengannya. Kan sudah ku bilang tadi, dia itu sibuk.

Tetapi saat bertemu pun, bukan berarti kami menjadi canggung. Tidak sama sekali. Selama perjalanan dari Sekolah hingga rumahku, dia selalu saja bisa menemukan topik pembicaraan yang cocok. Dan aku, hanya bisa geleng kepala dengan kelakuannya yang sulit untuk ditebak.

Mungkin memang aku yang norak, karena selalu saja menghubungkan kejadian yang terjadi kepadaku, dengan apa yang pernah dibicarakannya kepadaku. Maklum saja, aku tidak pernah mengenal laki-laki seperti dia. Dan juga, aku tidak pernah merasakan yang namanya diistimewakan oleh seseorang. Selain keluarga, tentunya.