Menghindari Patah Hati

Apakah kalian tau, darimana datangnya “Patah Hati”?

Apakah kalian tau, apa yang menyebabkan “Patah Hati”?

Silahkan ber-opini, aku tidak akan menghujatnya.

Aku hanya ingin menyampaikan opiniku mengenai apa itu “Patah Hati”.

Selamat membaca ^^

Setelah semua kejadian demi kejadian yang aku lalui. Nyatanya, “Patah Hati” memang berasal dari diri kita sendiri. Karena hati yang terlalu banyak mengharap, mengangankan sesuatu tanpa mengungkapkannya, dan bertingkah seolah semua manusia di muka bumi ini adalah cenayang yang dapat saling membaca pikiran dan isi hati diri masing-masing.

“Patah Hati” bisa muncul darimana saja. Yang utama ialah dari rasa kecewa. Dan, darimana rasa kecewa itu muncul? Ya, dari besarnya harapan yang kita punya. Tanpa berpikir dua kali dengan logika bahwa harapan yang berlebihan akan menimbulkan kecewa yang berkepanjangan.

Lalu, bagaimana caranya menghindari “Patah Hati”?

Yaitu, dengan tidak terlalu menggantungkan diri pada harapan kosong. Iya, seperti balon yang seluruh isinya hanyalah udara, hampa. Harapan yang hanya didambakan oleh kita, yang sebagian besar hanyalah khayal, dan tidak akan pernah terwujud.

Sebenarnya, harapan tidak pernah salah. Hanya saja, kita harus lebih bijak dalam membedakan mana berharap yang perlu dan tidak perlu. Mana berharap yang akan menimbulkan motivasi dan mana berharap yang akan menimbulkan luka hati. Pandai-pandailah dalam berharap, terlebih berharap kepada sesuatu yang tidak mungkin.

“Aduh, kok si dia tidak mengirimi aku pesan, ya. Apa dia bosan denganku? Apa dia tidak suka padaku?”

Nah, ini termasuk harapan yang belum bijak penggunaannya. Seseorang yang mengharap dikirimi pesan, namun hanya bisa mengkhayal tanpa berpikir panjang. Padahal kalau dipikirkan secara logika, apakah mungkin jika seorang manusia hanya menghabiskan seluruh waktunya untuk berkutat di Dunia Maya? Apakah dia tidak minum, makan, buang air dan melakukan aktivitas lainnya? Coba pikirkan kembali.

Ada juga seperti ini, “Lho, kok dia berbicara dengan perempuan itu sih! Memangnya dia tidak sadar sedang dekat dengan siapa? Awas saja, aku tidak akan mengiriminya pesan lagi!”

Kamu itu siapa? Ibunya bukan, saudaranya bukan, temannya bukan, bahkan kekasihnya pun bukan. Kamu hanya mengaguminya dari kejauhan, betul kan? Lantas, mengapa dirimu begitu marah ketika dia berbincang dengan perempuan lain? Apakah itu lebih baik jika dibandingkan denganmu yang hanya bisa berbincang dengannya melalui Dunia Maya?

Lagi-lagi, harapan yang berlebihan muncul. Kamu yang berangan ingin berbincang dengannya namun tidak kesampaian, malah mengumpati seseorang yang bahkan asal usulnya pun tidak kamu ketahui. Hati-hati, bisa menjadi dengki!

Semuanya kembali padamu. Apakah kamu menikmati, semua harapan yang berujung penderitaan ini? Hanya karena tidak mampu mengungkapkan isi hati dan mewujudkan mimpimu yang sebenarnya. Jujur saja. Sebenarnya dirimu pun jenuh, terus mengharapkan hal yang bahkan mengungkapkannya saja kamu tidak sanggup. Apalagi jika kamu diberi kesempatan untuk menghadapinya ketika mimpimu menjelma nyata?

Sekali lagi, mungkin contoh yang kuberikan perihal “Patah Hati”-nya anak muda. Tetapi jelas saja, definisi “Patah Hati” lebih dari itu. Karena selalu, harapan pasti berkawan baik dengan mimpi, namun selalu saja bermusuhan dengan kecewa.

Itu sebabnya aku bilang kepadamu, bijaksanalah kamu dalam mengharapkan sesuatu. Jangan terlalu menggantungkan dirimu kepada harapan itu. Karena semakin besar kamu berharap, semakin besar pula rasa kecewa yang akan kamu dapat.

Tetaplah bersyukur akan nikmat yang sudah kamu dapatkan sekarang. Boleh jadi, seseorang di luar sana sangat menginginkan hidup yang kamu jalani sekarang. Kamu hanya perlu menanamkan pikiran bahwa dirimu juga berhak untuk bahagia. Dan tidak semua bahagia bisa muncul dengan harapan yang berlebihan.

Sayangilah dirimu sendiri, kekasihmu, kedua orang tuamu, saudara-saudarimu, keluargamu, teman-temanmu, dan Tuhanmu. Nikmatilah setiap momen yang terjadi dalam hidupmu, dan berhenti memikirkan hal-hal yang tidak perlu.

Bogor, 28 Agustus 2018

- ken utari -