Aku dan Renungan

Aku dan Renungan

Terbangun aku pada pukul 4 pagi kurang beberapa menit. Setelah mendengar adikku yang ditegur ketus oleh Abi. Karena ia susah sekali dibangunkan untuk menyantap sahur.

Aku jengah melihat dirinya bermalas-malasan. Aku bangkit dari rebahku, dan mulai mencaci ia hingga ia pun bangkit dari kemalasannya. 

Aku menceramahinya habis-habisan ketika ia sedang makan. Tak peduli bahwa satu, dua titik air mulai menetes di kedua pipinya. Aku menegurnya karena ia tak mampu berprinsip.

Setelah itu, aku kembali menuju kasur. Mengetik tulisan ini sembari berpikir, apa bedanya ia denganku? Aku kakaknya, namun tidak bisa memberikan contoh yang baik.

"Kalau kamu memang tidak mau, bilang tidak mau. Jangan bilang mau tetapi bermalas-malasan dan menyusahkan orang lain", kataku beberapa menit lalu.

Betapa manusia mengindahkan, saat bisa menceramahi seseorang dan berpijak di atas kesalahan kita sendiri.

Sementara, yang diceramahi semakin memupuk diri untuk menjadi lebih baik. Sedangkan aku, tetap pada pendirian yang tak pantas disebut pendirian.

Berapa banyak, yang bahkan menatap indahnya langit pun tak bisa. Karena dihiasi oleh kepul asap yang menghitam. 

Tak jarang pula, mereka yang begitu bahagia karena mendapatkan tiga suap nasi, di tengah-tengah kericuhan.

Apa kabar aku? Yang saat ini sedang terbaring nyaman berselimutkan kain tebal dan asyik berkelana dengan gawai.

Setiap hari disuguhi makanan pokok beserta sampingan yang tak diragukan lagi jaminan kesehatannya.

Membasuh dan membersihkan diri dengan air bersih, yang jelas-jelas terhindar dari kuman. Bening pula warnanya.

Pernahkah saat disajikan makanan, aku berkata "Terima kasih, Sang Pencipta. Untuk makanan hari ini" dalam bahasa dan keyakinan masing-masing?

Tentu saat diiringi rasa lapar yang kalap, kadangkala manusia lupa untuk mengucapkan beberapa kata syukur.

Lebih sederhana lagi, pernahkah aku mengucap "Terima kasih, Ibu. Untuk setiap masakan yang ibu masak dengan penuh cinta untukku dan adik-adikku. Aku sangat menikmatinya".

Bahkan, seringkali aku membentak beliau dengan kasar karena masakannya tidak sesuai dengan apa yang aku mau.

Berapa lama waktu yang aku perlukan untuk mengucapkan beberapa kalimat itu? Aku tahu itu, tidak banyak.

Bagaimana halnya saudara-saudaraku di luar sana, yang bahkan tempat untuk bernaung dari hujan pun tak ada. Makanan yang ada harus ia bagi dengan sukarela kepada adik-adiknya.

Pun jaket yang ia pakai untuk melindungi tubuhnya, harus ia pakaikan kepada adik-adiknya yang lebih membutuhkan. Biarlah ia yang memakai sehelai kaos tipis. Asalkan adiknya tidak kedinginan.

Sempat hati tergerak, berniat menyucikan diri dari segala perbuatan yang tak seharusnya dilakukan. Kesalahan-kesalahan yang seharusnya masih bisa diperbaiki.

Namun, kembali lagi kepada titik. Terlalu nyaman dengan keadaan saat ini. Tidak ingin keluar zona barang sesenti.

Ketika orang lain berpeluh keringat untuk mendapat sesuap nasi, aku mengeluh hanya karena beberapa peluh keringat menyapu halaman.

Ketika orang lain berbinar matanya saat bisa bersantap normal, aku berbinar ketika dibelikan gawai baru.

Seketika, aku tersadar. Pun mengetik tulisan ini yang entah apakah ada yang ingin membacanya atau tidak. 

Memang, acap kali manusia tidak bisa benar-benar berusaha untuk berperilaku sesempurna mungkin. Namun, sudahkah dan sudikah engkau mencoba?

Bojonggede, 10 Mei 2019

Ken Utari