Gemerlap Cahaya Ibukota

_Suatu tempat di Jakarta, 01 September 2018_

Hari ini, aku dan dirinya memantapkan hati untuk bertemu pada suatu acara di Ibukota.

Risau memang, mengingat selama ini kami hanya berjumpa via suara. Dan sesekali juga melalui media video call (memang tidak puas, tetapi cukup menyenangkan).

Apa yang dikhawatirkan, hanyalah kami yang akan saling membisu. Sebatas mencuri pandang lalu sesekali tersipu malu saat salah satu melemparkan senyum.

Nyatanya, definisi bahagia memang sesederhana itu. Mungkin memang tak banyak patah kata yang terucap, namun dengan saling berada di sisi, cukup menghangatkan hati akan dinginnya sang Ibukota yang terguyur hujan.

Kulihat dirinya yang kian akrab dengan adikku, iri rasanya. Tetapi, diam-diam aku tersenyum. Senang sekali mengetahui bahwa orang yang kau sayangi, menyayangi keluargamu juga. Tiada yang lebih baik daripada itu.

Aku memang tidak mengharapkan apa-apa. Selain kehadiran dirinya dan diriku yang bisa bekerja sama dengan hati agar tidak membisukan kata yang ingin selalu ku ucap, "Aku menyayangimu, kekasihku". Namun di tentang oleh logika, jangan berlebihan katanya.

Hanya itu, yang bisa ku deskripsikan dengan kata-kata. Selebihnya, hatiku lah yang bisa dengan baik memaknainya.

Sudah cukup kah? Puas kah dirimu, dengan pertemuan malam ini? Tidak, jawabku. Aku belum cukup puas.

Walau tak terucap, namun hati tak bisa membohongi bahwa diriku menginginkan pertemuan ini sekali lagi, dan seterusnya di kemudian hari.

Berkenankah, dikau?

Ditulis pada, 02 September 2018
Dipublikasikan pada, 03 September 2018

Tempatku berteduh saat ini, suatu tempat di Bogor.

Tertanda, Ken Utari.