Rindu dan Ironi

Aku bermimpi tentang dirimu.
Dan menceritakan mimpi itu padamu.
Sedangkan kamu, hanya menertawakannya begitu saja.
Kamu lupa bahwa mimpi adalah wujud nyata dari rasa rindu.


Mungkin memang benar, jika tak ada yang bisa membunuh rindu.
Tapi, aku adalah seseorang yang benar-benar bisa melupakannya.
Tanpa harus mengingat, ataupun mengungkitnya kembali.

Karena percuma saja.
Kamu tidak akan pernah peduli.

Mungkin memang harus berjarak.
Untuk bisa merasakan rindu yang selama ini kau tolak.
Selama ini kau hanya bisa mengelak.
Dan berkata, tidak ada yang bisa membuat rindu kecuali jarak.

Aku tidak mengatakan bahwa aku bosan.
Pun bahwasanya aku sudah hilang perasaan.
Hanya saja, aku sudah muak menahan semua kecewa.
Yang selama ini, tak pernah kau hiraukan sedikit saja.

Aku bukan manusia sempurna.
Yang bisa melewati hari-hari tanpa rasa rindu.
Aku hanyalah manusia yang dilanda penuh kecewa.
Yang tak pernah bisa menghentikan rasa sakit karena dirimu.


Rindu.
Sekali lagi ku katakan, aku rindu.
Namun, adakah sekali saja kau menanggapinya?
Adakah sekali saja, kau mengatakan bahwa kau juga rindu?







Tidak.

Satu kali pun.



Bojonggede, 19 Mei 2018


Ken Utari

Aku Menyebutnya, Bagian Dari Masa Laluku

29 Juni 2015.

Antara yakin dan tidak yakin. Tapi memang inilah faktanya.
Aku memasukki tahap mengenalnya lebih jauh lagi.
Awalnya, ketidakrelaan itu terpampang jelas di depan mata.
Dia itu dingin.
Hari demi hari. Tujuh bulan pun berlalu.
Entah bagaimana caranya, dengan berbagai hal aneh yang rutin menjadi perbincangan kita.
Kehangatan mulai hadir di antara kita.
Entah hanya aku yang merasakan, atau memang benar kalau dingin itu telah mencair.

Kata-kata, rayuan, sindiran.
Dibalut dengan sempurna olehnya.
Tak lupa, ditambahkannya serbuk gula agar semua itu terasa manis.
Walau diriku sangat yakin, semua itu memang manis apa adanya.

Aku tidak jatuh. Aku hanya melayang-layang tanpa arah tujuan yang jelas.
Terkadang angin bertiup kencang, menghempaskanku ke tanah.
Terkadang juga, angin membantuku untuk duduk di atas lengkungan pelangi.
Menikmati lengkungan senyumnya...

Dia memanggilku dengan sebutan yang tidak biasa.
Yah, mungkin hanya akau yang tidak terbiasa dengan panggilan seperti itu.
Saat pertama kali dia memanggilku dengan sebutan itu, mungkin itulah saat memori tentangnya kembali terputar dengan jelas di benakku.

Pertemuan itu tak disengaja, baik oleh diriku maupun dirinya.
Perbincangan itupun tidak direncanakan, mengalir begitu saja.
Tapi yang aku lihat pertama kali pada kedua matanya, adalah hal yang membuatku yakin.

Mungkin, ini semua bisa terjadi karena aku yang memulainya.
Bagai khayalan di atas galaksi.
Pertemuan kami hanyalah kebetulan.
 Aku mulai tidak percaya bahwa pertemuan saat itu adalah takdir kami.
Aku menepis prasangka itu.

Kejadian itu menyeruak masuk begitu saja ke dalam hidupku.
Tanpa ada kata permisi, ia seenaknya saja mengobrak-abrik isi hatiku.
Dan baru beberapa hari ini, aku coba untuk merapikannya kembali.
Menyusunnya agar kembali utuh.
Dan hatiku, tidak lagi rapuh.

Aku ingin selalu bersamanya.
Aku ingin selalu melihatnya.
Aku ingin, ada keajaiban yang membuatku bisa terus bersamanya.

Sayangnya, kejadian itu datang terlalu cepat.
Hingga diriku sendiri tidak bisa mengendalikan hati dan pikiranku.
Aku membiarkan kami berjalan seperti adanya.
Tanpa pernah menyangka, seharusnya semua ini tidak pernah nyata.

Aku tidak yakin. Aku tertarik kepadanya sejak pertama kali melihatnya.
Dia berbeda. Tentu, setiap manusia mempunyai ciri khas masing-masing.
Tetapi aku tau, dia berbeda.

Dan aku ingin menyelaraskan semuanya dengan diriku.
Aku ingin bersamanya.

Padang, 10 April 2017

#lateposts
#myveryfirstwordoflove